TUGAS
PENDIDIKAN PANCASILA
Nama : Refa Febriantara
NIM : 13108244034
Prodi : PGSD
Kelas : E
1. Bandingkan antara ideologi pancasola,
liberalisme, komunisme :
1.
Ideologi
Pancasila
Pancasila dianggap sebagai sebuah
ideologi karena Pancasila memiliki nilai-nilai filsafat mendasar juga rasional.
Pancasila telah teruji kokoh dan kuat sebagai sebuah landasan dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain itu juga, Pancasila merupakan wujud dari konsensus nasional, itu semua
karena negara bangsa Indonesia ini adalah sebuah sketsa negara moderen yang
telah disepakati oleh para pendiri negara Republik Indonesia kemudian
nilai-nilai dari kandungan Pancasila itu sendiri dilestarikan dari generasi ke
generasi.
Ideologi pancasila adalah ideologi yang
berpatokan pada nilai-nilai Pancasila yang mengutamakan keselarasan,
keseimbangan, dan keserasian dalam aspek
kehidupan bangsa dan negara.
Ciri ciri ideologi pancasila :
A.
Dalam
bidang ekonomi menganut azaz kekeluargaan.
B. Dalam bidang
sosial menganut azaz kegotongroyongan .
C. Dalam bidang
politik menganut azaz musyawarah untuk mufakat .
D. Dalam bidang
agama ,Indonesia adalah Negara yang religius artinya berketuhanan yang maha esa
.
2.
Ideologi
Liberal
Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi
politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik
yang utama. Liberalisme tumbuh dari konteks masyarakat Eropa pada abad
pertengahan. Ketika itu masyarakat ditandai dengan dua karakteristik berikut.
Anggota masyarakat terikat satu sama lain dalam suatu sistem dominasi kompleks
dan kukuh, dan pola hubungan dalam system ini bersifat statis dan sukar
berubah.
Ideologi Liberal adalah paham yang
mengetengahkan kebebasan individu dari pada masyarakat. Masyarakat baginya
diabdikan untuk individu.
Ciri-ciri ideologi liberal sebagai
berikut :
·
Demokrasi
merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik.
·
Anggota
masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara,
kebebasan beragama dan kebebasan pers.
·
Pemerintah
hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas. Keputusan yang dibuat
hanya sedikit untuk rakyat sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan
untuk diri sendiri.
·
Kekuasaan
dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk. Oleh karena itu,
pemerintahan dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat
dicegah. Pendek kata, kekuasaan dicurigai sebagai hal yang cenderung
disalahgunakan, dan karena itu, sejauh mungkin dibatasi.
·
Suatu
masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap individu atau sebagian besar
individu berbahagia. Walau masyarakat secara keseluruhan berbahagia, kebahagian
sebagian besar individu belum tentu maksimal.
3.
Ideologi
Komunisme
Komunisme adalah salah satu ideologi di
dunia. Komunisme sebagai anti kapitalisme menggunakan sistem sosialisme sebagai
alat kekuasaan sebagai Prinsip semua adalah milik rakyat dan dikuasai oleh
negara untuk kemakmuran rakyat secara merata. Secara umum komunisme berlandasan
pada teori Dialektika materi oleh karenanya tidak bersandarkan pada kepercayaan
agama dengan demikian pemberian doktrin pada rakyatnya, dengan prinsip bahwa
“agama dianggap candu” yang membuat orang berangan-angan yang membatasi
rakyatnya dari pemikiran ideologi lain karena dianggap tidak rasional serta
keluar dari hal yang nyata (kebenaran materi).
Ciri ciri ideologi komunis :
1.
Penganut-penganut
komunis mempercayai bahawa sistem kapitalis (pasaran bebas) adalah buruk.
Mengikut mereka, golongan pekerja dalam sistem kapitalis amat menderita.
2.
Komunis
mempercayai bahawa golongan pekerja harus bersatu dalam kesatuan-kesatuan
sekerja dan lain-lain pertubuhan. Kemudian, mereka harus mengadakan revolusi
untuk menjatuhkan kapitalis.
3.
Komunis
percaya bahawa masyarakat baru komunis akan menjadi masyarakat yang tidak
berkelas. Tidak akan terdapat lagi golongan penindas dan golongan yang
ditindas. Semua orang memiliki kekayaan yang sama (tidak akan wujud golongan
kaya/elit).
4.
Komunis
percaya bahawa dalam sebuah negara komunis, semua harta adalah hak milik
negara. Orang perseorangan tidak boleh memiliki tanah atau perniagaan.
Pemilikan harta persendirian adalah merupakan ciri-ciri kapitalis yang perlu
dielakkan. Semua harta mesti dimiliki dan diuruskan oleh kerajaan. Harta-harta
kapitalis akan dirampas.
5.
Komunis
anti agama dan tidak mempercayai kewujudan Tuhan. Mereka menganggap bahawa
agama adalah candu masyarakat.
2. Tindakan
apa yang dilakukan jikaorang mempunyai ideologi tersebut, berikan contoh:
Tindakan yang dilakukan jika orang
tersebut mempunyai ideologi pancasila adalah menjujunjung tinggi nilai nilai
yang terkandung dalam pancasila. Contoh, nilai Ketuhanan antara lain melaksanakan kewajiban dalam keyakinannya terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Tindakan
yang dilakukan jika orang tersebut mempunyai ideologi liberalisme adalah
memisahkan antara ruang pribadi dan ruang umum. Contoh, di negara demokratis
barat jika parkir kendaraan disembarang tempat akan diderek atau diangkut oleh
pegawai dinas karena parkir dijalan umum melanggar hukum.
Tindakan
yang dilakukan jika orang tersebut mempunyai ideologi komunisme adalah
menolaknya karena ideologi ini menyebarluaskan kebohongan untuk mencapai
tujuan. Contoh, peristiwa G30SPKI yang menyebabkan tumpah darah bangsa
indonesia yang membekas sampai sekarang, dan saat ini memanfaatkan isu
kemiskinan masyarakat untuk mencapai tujuannya sendiri.
3. Pancasila sebagai paradigma pembangunan
:
a.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan paradigma pancasila dalam
pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai
moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada
dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II
Pancasila).
Sistem ekonomi yang mendasarkan pada
moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang
berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku
makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila
berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan
individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian
juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui
kepemilikan individu.
Pancasila bertolak dari manusia sebagai
totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus
dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada
kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila
adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi
Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi harus mampu
menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk
lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan
kesengsaraan warga negara.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan
ekonomi lebih mengacu pada Sila Keempat Pancasila; sementara pengembangan
ekonomi lebih mengacu pada pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan
demikian subjudul ini menunjuk pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau
pembangunan Demokrasi Ekonomi atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau
Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan,
politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar kemakmuran/kesejahteraan
rakyat yang harus mampu mewujudkan perekonomian nasional yang lebih berkeadilan
bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang
telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang
lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang
mencakup koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama
pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab
itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi. Ekonomi Kerakyatan
akan mampu mengembangkan program-program kongkrit pemerintah daerah di era
otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan
pembangunan daerah.
Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan
mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil,
demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah
Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan
peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian
hukum.
b.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Patriotisme
Pendidikan pancasila memberikan
kita pandangan dalam kehidupan berkebangsaan, bernegara, bermasyarakat, dan
berkeluarga. Dimana dalam pendidikan ini kita dikenalkan akan cara
bermasyarakat dalam suatu negara. Memberikan pembelajaran tentang patriotisme
yang ditujukan kepada masyarakat Indonesia secara keseluruhan, guna mengenal
dan saling memahami akan perbedaan para individu masyarakat dalam mempengaruhi
kehidupan bersama, demi mencapai tujuan
berbangsa dan bernegara yang baik dan benar.
c.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya
Pancasila pada hakikatnya bersifat
humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat
manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang
adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu
meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya
dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia
biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita
menjadi manusia adil dan beradab.
Manusia tidak cukup sebagai manusia
secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia
harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human. Berdasar
sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar
penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh
wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan
terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia
sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan
demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan,
diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan
nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan
pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya
komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan
berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua).
Hak budaya komuniti dapat sebagai
perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu.
Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang
mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia.
Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku
bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan
regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin
keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah
NKRI (Sila Ketiga).
Apabila dicermati, sesungguhnya
nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan,
sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan – kebudayaan di daerah:
1.
Sila
Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan
komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa;
2.
Sila
Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara
Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun
golongannya;
3.
Sila
Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat
majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa
yang berdaulat;
4.
Sila
Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat
majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini
sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan
kepentingan perorangan;
5.
Sila
Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang
membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
d. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Salah satu tujuan bernegara Indonesia
adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh
penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan
seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia
disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat semesta
melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya,
serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total
terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan
sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga
negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana
pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam
masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara.
Dalam undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa
Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI
telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga
kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu:
a.
adanya
perlindungan terhadap HAM,
b.
adanya
susunan ketatanegaraan negara yang mendasar,
c.
adanya
pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.Sesuai
dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD
1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif.
Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi positif dan segi negatif.
Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi
negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan ketentuan Pasal 37
UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD—termasuk
perubahannya—, demikian juga UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus
mengacu pada dasar negara (sila – sila Pancasila dasar negara). Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai
paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan
sila-sila:
(1) Ketuhanan Yang Maha Esa,
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
(3) Persatuan Indonesia,
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Dengan demikian, substansi hukum yang
dikembangkan harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang
terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan karakter
produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan
aspirasi rakyat).
e.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa
Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan
predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia
internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk, bhinneka dan plural.
Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan agama namun terjalin
kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia kita.
Namun akhir-akhir ini keramahan kita
mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada beberapa kasus kekerasana
yang bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia hampir
pasti semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam. Masyarakat muslim di Indonesia memang terdapat
beberapa aliran yang tidak terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh
umat Islam menurut sebagian umat non muslim mereka seakan-seakan merefresentasikan
umat muslim.
Paradigma toleransi antar umat beragama
guna terciptanya kerukunan umat beragama perspektif Piagam Madinah pada intinya
adalah seperti berikut:
1. Semua umat Islam, meskipun terdiri dari
banyak suku merupakan satu komunitas (ummatan wahidah).
2. Hubungan antara sesama anggota komunitas
Islam dan antara komunitas Islam dan komunitas lain didasarkan atas
prinsip-prinsi:
a. Bertentangga yang baik
b. Saling membantu dalam menghadapi
musuh bersama
c. Membela mereka yang teraniaya d.
Saling menasehati
e. Menghormati kebebasan beragama.
Lima prinsip tersebut mengisyaratkan:
1) Persamaan hak dan kewajiban antara
sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama;
2) pemupukan semangat persahabatan dan
saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu
dalam menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis
dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama
dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas
di bidang agama.
Hal ini didasarkan pada postulat bahwa
homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan politik. Sebab bila kepercayaan
yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan
masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari
kompromi.
Dalam beberapa tahap dan kesempatan
masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan majemuk banyak kita temukan
upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerunan antar masayarakat. Lahirnya
lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di
Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli,
Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat.
Ke depan, guna memperkokoh kerukunan
hidup antar umat beragama di Indonesia yang saat ini sedang diuji kiranya perlu
membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal. Dialog Horizontal adalah interaksi
antar manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling pengertian, pengakuan
akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang
indeterminis dan interdependen.
Identitas indeterminis adalah sikap
dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia berada pada kemanusiaannya.
Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda mekanik, melainkan sebagai
manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang berbudaya.
f. Pancasila sebagai
Paradigma Pembangunan Ketahanan Nasional
Ketahanan Nasional Indonesia pada hakikatnya
adalah keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan
kekuatan nasional untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam
mencapai tujuan nasiona dan cita-cita nasional. Adapun konsepsi Ketahanan
Nasional Indonesia pada hakikatnya adalah pengaturan dan penyeleggaraan
kesejahteraan dan keamanan secara serasi, selaras, seimbang, terpadu dan
dinamis dalam seluruh aspek kehidupan nasional.
Soedjatmoko (1991) sudah lama mengingatkan dalam hasil studinya bahwa “Pengalaman di negara Amerika Latin dan beberapa negara di kawasan kita ini telah memberi tahu kita bahwa terdapat batas-batas bagi kapasitas masyarakat untuk menanggung ketegangan-ketegangan yang -- karena cepatnya perubahan sosial, atau karena besarnya ketimpangan sosial, ekonomik dan politis --, melebihi daya tahan sistem politik. Konflik-konflik yang timbul sering membawa kepada saling tindak kekerasan yang makin meningkat, dan pada keadaan terjelek membawa kepada kehancuran keseluruhan masyarakat”
Soedjatmoko (1991) lebih lanjut menegaskan bahwa “Konflik-konflik minoritas, kegoncangan-kegoncangan sepanjang garis-garis pertikaian beberapa wilayah, etniisitas ras atau bahasa adalah peringatan-peringatan dini, atau sudah agak terlambat, mengenai adanya disfungsi besar dalam kohesi sosial dan sistem politis. Disorientasi, alienasi, perilaku anomik, penyalahgunaan narkotika, makin bertambahnya intoleransi serta fanatisme relijius kelompok-kelompok dalam masyarakat adalah pertanda-pertanda awal dari sebuah masyarakat yang sedang mengalami stres. Gejala-gejala ini masih belum dipelajari dalam kerangka-kerangka proses pembangun-an, kecepatannya, ada atau tidaknya strateginya. Mempelajari masalah-masalah ini secara terpisah dari dinamika proses pembangunan adalah tidak realistik”.
Penyelengaraan ketahanan nasional itu dengan sendirinya berbeda-beda sesuai dengan letak dan kondisi geografis serta budaya bangsa. Bangsa itu terpelihara persatuannya berkat adanya seperangkat nilai yang dihayati bersama oleh para warganegaranya. Perangkat nilai pada bangsa yang satui berbeda dengan perangkat nilai pada bangsa yang lain. Bagi bangsa Indonesia, perangkat nilai itu adalah Pancasila. Kaitan Pancasila dan ketahanan nasional adalah kaitan antara idea yang mengakui pluralitas yang membutuhkan kebersamaan dan realitas terintegrasinya pluralitas. Dengan kata lain ketahanan nasional adalah perwujudan Pancasila dalam kehidupan nasional suatu bangsa (Abdulkadir Besar, 1996). Perlu dilakukan usaha-usaha yang tiada henti, baik kajian substantif maupun langkah implementatif agar Pancasila semakin bermakna dalam mendukung terwujudnya Ketahanan Nasional Indonesia.
Soedjatmoko (1991) sudah lama mengingatkan dalam hasil studinya bahwa “Pengalaman di negara Amerika Latin dan beberapa negara di kawasan kita ini telah memberi tahu kita bahwa terdapat batas-batas bagi kapasitas masyarakat untuk menanggung ketegangan-ketegangan yang -- karena cepatnya perubahan sosial, atau karena besarnya ketimpangan sosial, ekonomik dan politis --, melebihi daya tahan sistem politik. Konflik-konflik yang timbul sering membawa kepada saling tindak kekerasan yang makin meningkat, dan pada keadaan terjelek membawa kepada kehancuran keseluruhan masyarakat”
Soedjatmoko (1991) lebih lanjut menegaskan bahwa “Konflik-konflik minoritas, kegoncangan-kegoncangan sepanjang garis-garis pertikaian beberapa wilayah, etniisitas ras atau bahasa adalah peringatan-peringatan dini, atau sudah agak terlambat, mengenai adanya disfungsi besar dalam kohesi sosial dan sistem politis. Disorientasi, alienasi, perilaku anomik, penyalahgunaan narkotika, makin bertambahnya intoleransi serta fanatisme relijius kelompok-kelompok dalam masyarakat adalah pertanda-pertanda awal dari sebuah masyarakat yang sedang mengalami stres. Gejala-gejala ini masih belum dipelajari dalam kerangka-kerangka proses pembangun-an, kecepatannya, ada atau tidaknya strateginya. Mempelajari masalah-masalah ini secara terpisah dari dinamika proses pembangunan adalah tidak realistik”.
Penyelengaraan ketahanan nasional itu dengan sendirinya berbeda-beda sesuai dengan letak dan kondisi geografis serta budaya bangsa. Bangsa itu terpelihara persatuannya berkat adanya seperangkat nilai yang dihayati bersama oleh para warganegaranya. Perangkat nilai pada bangsa yang satui berbeda dengan perangkat nilai pada bangsa yang lain. Bagi bangsa Indonesia, perangkat nilai itu adalah Pancasila. Kaitan Pancasila dan ketahanan nasional adalah kaitan antara idea yang mengakui pluralitas yang membutuhkan kebersamaan dan realitas terintegrasinya pluralitas. Dengan kata lain ketahanan nasional adalah perwujudan Pancasila dalam kehidupan nasional suatu bangsa (Abdulkadir Besar, 1996). Perlu dilakukan usaha-usaha yang tiada henti, baik kajian substantif maupun langkah implementatif agar Pancasila semakin bermakna dalam mendukung terwujudnya Ketahanan Nasional Indonesia.
9. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
Ideologi
Ideologi
adalah suatu kompleks idea-idea asasi tentang manusia dan dunia yang dijadikan
pedoman dan cita-cita hidup (Driyarkara, 1976). Dalam pengertian ini termuat
juga pandangan tentang Tuhan, tentang manusia sesama, tentang hidup dan mati,
tentang masyarakat dan negara dsb. Istilah “manusia dan dunia” mengandung arti
bahwa manusia itu mempunyai tempat tertentu, mempunyai kedudukan tertentu,
berarti mempunyai hubungan-hubungan atau relasi. Sesuai dengan tabiat
hubungan-hubungan itu, suatu ideologi bersifat hanya “diesseitig” (
merembug kehidupan dunia, dan tidak mengakui adanya Tuhan, contohnya ideologi
Komunis ) atau ideologi yang bersifat “diesseitig sekaligus
jugayenseitig”( merembug kehidupan akhirat, mengakui adanya Tuhan,
contohnya ideologi Pancasila ).
Dalam rumusan diatas, ideologi bukanlah hanya pengertian. Ideologi adalah prinsip dinamika, karena merupakan pedoman (menjadi pola dan norma hidup) dan sekaligus juga berupa ideal atau cita-cita. Realisasi dari idea-idea yang menjadi ideologi itu dipandang sebagai kebesaran, kemuliaan manusia.
Pengembangan Pancasila sebagai ideologi yang memiliki dimensi realitas, idealitas dan fleksibilitas (Pancasila sebagai ideologi terbuka) menghendaki adanya dialog yang tiada henti dengan tantangan-tantangan masa kini dan masa depan dengan tetap mengacu kepada pencapaian tujuan nasional dan cita-cita nasional Indonesia.
Dalam rumusan diatas, ideologi bukanlah hanya pengertian. Ideologi adalah prinsip dinamika, karena merupakan pedoman (menjadi pola dan norma hidup) dan sekaligus juga berupa ideal atau cita-cita. Realisasi dari idea-idea yang menjadi ideologi itu dipandang sebagai kebesaran, kemuliaan manusia.
Pengembangan Pancasila sebagai ideologi yang memiliki dimensi realitas, idealitas dan fleksibilitas (Pancasila sebagai ideologi terbuka) menghendaki adanya dialog yang tiada henti dengan tantangan-tantangan masa kini dan masa depan dengan tetap mengacu kepada pencapaian tujuan nasional dan cita-cita nasional Indonesia.
h.
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pendidikan
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan/keahlian dalam kesatu-an organis harmonis dinamis, di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Mengembangkan kepribadian dan kemampuan/keahlian, menurut Notonagoro (1973) merupakan sifat dwi tunggal pendidikan nasional.
Pendidikan sebagai bagian dari Ilmu Humaniora memperlihat-kan proses yang terus-menerus mengarah pada kesempurnaan, yang semakin manusiawi. Pendidikan pada dasarnya ialah pemanusiaan, dan ini memuat hominisasi dan humanisasi. Hominisasi merupakan proses pemanusiaan secara umum, yakni memasukkan manusia dalam lingkup hidup manusiawi secara minimal. Humanisasi adalah proses yang lebih jauh, kelanjutan hominisasi. Dalam proses ini, manusia bisa meraih perkembangan yang lebih tinggi, seperti nampak dalam kemajuan-kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan (Driyarkara, 2006).
Salah satu agenda penting dalam upaya mengatasi krisis dalam kehidupan bangsa kita adalah melalui pendidikan karakter, pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan akhlak, pendidikan budi pekerti. Dalam penerapan pendidikan karakter, pendidikan nilai atau pendidikan moral, sebagaimana dikemukakan oleh D. Purpel & K. Ryan (Eds) dalam Colin J. Marsh ( 1996), hendaknya memperhitung-kan baik kemampuan peserta didik untuk berpikir tentang persoalan-persoalan moral, maupun cara di mana seorang peserta didik benar-benar bertindak dalam situasi-situasi yang menyangkut benar dan salah.
Pendidik (guru) yang baik adalah vital bagi kemajuan dan juga keselamatan bangsa. Guru tidak hanya menyampaikan idea-idea, tetapi hendaknya menjadi suatu wakil dari suatu cara hidup yang kreatif, suatu simbol kedamaian dan ketenangan dalam suatu dunia yang dicemaskan dan dianiaya. Ia menjadi penjaga peradaban dan pelindung kemajuan (Frederick Mayer, 1963). Keteladanan pendidik adalah suatu keniscayaan yang harus diwujudkan. Perilaku pendidik akan lebih diikuti oleh peserta didik dari pada apa yang dikatakan guru.
Pendidik (guru) yang memiliki akhlak, budi pekerti, karakter yang baik, akan sangat kondusif dalam mewujudkan keberhasilan pendidikan moral, yang muaranya akan mendukung bagi peserta didik untuk memiliki karakter yang baik. Karakter yang baik mencakup secara organis harmonis dan dinamis komponen-komponen pengeta-huan moral yang baik, perasaan moral yang baik, dan tindakan moral yang baik. Oleh karena itu, Lickona (1991) dalam I Wayan Koyan (1997) menyatakan bahwa untuk mewujudkan karakter yang baik, memerlukan pendekatan pendidikan moral yang komprehensif. Komponen-komponen karakter yang baik mencakup pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling) dan tindakan moral (moral action). Untuk pendidikan anak usia dini pendekatan ini perlu disesuaikan dengan karakteristik anak, yang dalam pendidikannya lebih mengedepankan bentuk-bentuk bermain. Dengan bermain anak mengalami kegembiraan dalam mengekspresikan atau mengaktualisasikan dirinya.
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan/keahlian dalam kesatu-an organis harmonis dinamis, di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Mengembangkan kepribadian dan kemampuan/keahlian, menurut Notonagoro (1973) merupakan sifat dwi tunggal pendidikan nasional.
Pendidikan sebagai bagian dari Ilmu Humaniora memperlihat-kan proses yang terus-menerus mengarah pada kesempurnaan, yang semakin manusiawi. Pendidikan pada dasarnya ialah pemanusiaan, dan ini memuat hominisasi dan humanisasi. Hominisasi merupakan proses pemanusiaan secara umum, yakni memasukkan manusia dalam lingkup hidup manusiawi secara minimal. Humanisasi adalah proses yang lebih jauh, kelanjutan hominisasi. Dalam proses ini, manusia bisa meraih perkembangan yang lebih tinggi, seperti nampak dalam kemajuan-kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan (Driyarkara, 2006).
Salah satu agenda penting dalam upaya mengatasi krisis dalam kehidupan bangsa kita adalah melalui pendidikan karakter, pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan akhlak, pendidikan budi pekerti. Dalam penerapan pendidikan karakter, pendidikan nilai atau pendidikan moral, sebagaimana dikemukakan oleh D. Purpel & K. Ryan (Eds) dalam Colin J. Marsh ( 1996), hendaknya memperhitung-kan baik kemampuan peserta didik untuk berpikir tentang persoalan-persoalan moral, maupun cara di mana seorang peserta didik benar-benar bertindak dalam situasi-situasi yang menyangkut benar dan salah.
Pendidik (guru) yang baik adalah vital bagi kemajuan dan juga keselamatan bangsa. Guru tidak hanya menyampaikan idea-idea, tetapi hendaknya menjadi suatu wakil dari suatu cara hidup yang kreatif, suatu simbol kedamaian dan ketenangan dalam suatu dunia yang dicemaskan dan dianiaya. Ia menjadi penjaga peradaban dan pelindung kemajuan (Frederick Mayer, 1963). Keteladanan pendidik adalah suatu keniscayaan yang harus diwujudkan. Perilaku pendidik akan lebih diikuti oleh peserta didik dari pada apa yang dikatakan guru.
Pendidik (guru) yang memiliki akhlak, budi pekerti, karakter yang baik, akan sangat kondusif dalam mewujudkan keberhasilan pendidikan moral, yang muaranya akan mendukung bagi peserta didik untuk memiliki karakter yang baik. Karakter yang baik mencakup secara organis harmonis dan dinamis komponen-komponen pengeta-huan moral yang baik, perasaan moral yang baik, dan tindakan moral yang baik. Oleh karena itu, Lickona (1991) dalam I Wayan Koyan (1997) menyatakan bahwa untuk mewujudkan karakter yang baik, memerlukan pendekatan pendidikan moral yang komprehensif. Komponen-komponen karakter yang baik mencakup pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling) dan tindakan moral (moral action). Untuk pendidikan anak usia dini pendekatan ini perlu disesuaikan dengan karakteristik anak, yang dalam pendidikannya lebih mengedepankan bentuk-bentuk bermain. Dengan bermain anak mengalami kegembiraan dalam mengekspresikan atau mengaktualisasikan dirinya.
Pendidikan
nasional harus dipersatukan atas dasar Pancasila. Tak seyogyanya bagi
penyelesaian-penyelesaian masalah-masalah pendidikan nasional dipergunakan
secara langsung sistem-sistem aliran-aliran ajaran, teori, filsafat, praktek
pendidikan berasal dari luar. Menurut Notonagoro (1973),
perlu disusun sistem ilmiah berdasarkan Pancasila tentang ajaran, teori,
filsafat, praktek pendidikan nasional, yang menjadi dasar tunggal bagi
penyelesaian masalah-masalah pendidikan nasional. Dalam pada itu filsafat
pendidikan nasional mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai pemberi
pedoman dan tujuan, memberi perdalaman, penginti, pendasar, perangkum; penggunaan sistem-sistem dan ajaran-ajaran berasal dari luar
setelah diintegrasikan dengan system pendidikan nasional hanya sebagai
pembantu, perbandingan, pemerkayaan dan dalam lain-lain peranan tidak langsung
atau sekuler; dengan demikian akan teratasi pula kemungkinan-kemungkinan
terbelahnya kepribadian para ahli pendidikan, yang akibatnya akan menimpa kepada
anak didik dengan resiko yang besar bagi hari depan bangsa.
i. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu dan Teknologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi, di masa sekarang memang merupakan kebutuhan tersendiri. Bagi kelompok manusia yang menginginkan kemajuan mutlak harus memiliki dua hal tersebut. Kepemilikan iptek untuk memudahkan kehidupan manusia dan mengangkat derajat manusia, oleh karena itu kepemilikan tersebut harus diiringi dengan cara menggunakan yang tepat. Realitas yang didapatkan, kepemilikan terhadap iptek sering disalahgunakan, sehingga justru mendehumanisasikan manusia itu sendiri. Hal ini justru sering dilakukan oleh para ilmuwan dan teknokrat. Padahal apapun hasil dari iptek mestinya dapat dipertanggungjawabkan akibatnya, baik pada masa lalu, masa sekarang, maupun masa depan.
Dalam kondisi seperti di atas maka diperlukanlah suatu platform yang mampu dijadikan sebagai ruhnya dagi perkembangan iptek di Indonesia. Bangsa Indonesia, dalam seluruh dimensi hidupnya, termasuk di bidang iptek, tergantung pada kuat tidaknya memegang ruh bangsanya, yaitu Pancasila. Pada persoalan di atas, Pancasila berperan memberikan beberapa prinsip etis kepada ilmu, sebagai berikut ;
Ilmu pengetahuan dan teknologi, di masa sekarang memang merupakan kebutuhan tersendiri. Bagi kelompok manusia yang menginginkan kemajuan mutlak harus memiliki dua hal tersebut. Kepemilikan iptek untuk memudahkan kehidupan manusia dan mengangkat derajat manusia, oleh karena itu kepemilikan tersebut harus diiringi dengan cara menggunakan yang tepat. Realitas yang didapatkan, kepemilikan terhadap iptek sering disalahgunakan, sehingga justru mendehumanisasikan manusia itu sendiri. Hal ini justru sering dilakukan oleh para ilmuwan dan teknokrat. Padahal apapun hasil dari iptek mestinya dapat dipertanggungjawabkan akibatnya, baik pada masa lalu, masa sekarang, maupun masa depan.
Dalam kondisi seperti di atas maka diperlukanlah suatu platform yang mampu dijadikan sebagai ruhnya dagi perkembangan iptek di Indonesia. Bangsa Indonesia, dalam seluruh dimensi hidupnya, termasuk di bidang iptek, tergantung pada kuat tidaknya memegang ruh bangsanya, yaitu Pancasila. Pada persoalan di atas, Pancasila berperan memberikan beberapa prinsip etis kepada ilmu, sebagai berikut ;
1.
Martabat manusia sebagai
pribadi, sebagai subjek tidak boleh diperalat untuk kepentingan iptek, riset.
2.
Prinsip “tidak
merugikan”, harus dihindari kerusakan yang mengancam kemanusiaan.
3.
Iptek harus sedapat
mungkin membantu manusia melepaskan dari kesulitan-kesulitan hidupnya.
4.
Harus dihindari adanya
monopoli iptek.
5.
Diharuskan adanya
kesamaan pemahaman antara ilmuwan dan agamawan, yaitu bahwa iman memancar dalam
ilmu sebagai usaha memahami “sunnatullah”, dan ilmu menerangi jalan yang telah
ditunjukkan oleh iman.
Sejalan dengan itu, jika dipandang dari wacana filsafat ilmu, maka iptek yang diletakkan di atas Pancasila sebagai paradigmanya yang perlu difahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologis, epistomologis, dan aksiologis ( Koento Wibisono, 1:9 ).
Aspek Ontologis, yaitu bahwa hakikat iptek merupakan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran serta kenyataan. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus dipandang secara utuh sebagai masyarakat, proses, dan produk.
Aspek Epistemologi, yaitu nilai-nilai Pancasila dijadikan sebagai “metode berfikir”, dalam arti sebagai dasar dan arah dalam mengembangkan ilmu, serta sebagai parameter kebenarannya.
Aksiologi, dengan menggunakan epistomologi tersebut kemanfaatan dan efek pengembangan iptek secara negatif tidak bertentangan dengan ideal Pancasila, dan secara posistif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai Pancasila.
Sebagaimana dinyatakan oleh Teuku Jacob (2000) bahwa perkembangan IPTEK dewasa ini dan dimasa yang akan datang sangat cepat, makin menyentuh inti hayati dan materi di satu pihak serta menggapai angkasa luas dan luar angkasa di lain pihak, lagi pula memasuki dan mempengaruhi makin dalam segala aspek kehidupan dan institusi budaya. Akibat yang baik adalah mengamankan, menyejahterakan dan menyelamatkan manusia, menambah atau mengurangi jumlah manusia, memperluas cakrawalanya, mengeser umur matinya, serta mengatasi halangan-halangan temporo-spasial. Akibatnya yang buruk adalah mendesak manusia secara temporospasial, mengusangkan kelompok yang kurang mujur, merusak lingkungan kerak bumi dan atmosfer, bahkan membinasakan dirinya, secara individual maupun massal.
j.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan kekeluargaan
kekeluargaan bertentangan dengan individualisme yang
merupakan asas pokok dalam demokrasi. Apakah benar kekeluargaan tidak bisa
dikaitkan dengan demokrasi? Bisa benar, tapi bisa juga salah. Menjadi benar
apabila figur tetua dalam "keluarga" bersikap otoriter dan tidak mau
bermusyawarah dalam permufakatan keluarga. Dan sikap otoriter para tetua
keluarga itu banyak ditemui dalam keluarga-keluarga kita.
Sikap ini merupakan dampak sampingan dari pola patron-client dan ajaran tradisional bangsa kita,
dimana senior itu harus dihormati. Penghormatan yunior tersebut kadang-kadang
melewati kewajaran sehingga melahirkan penghormatan berlebihan bahkan kultus
individu terhadap senior dan dimanfaatkan oleh senior untuk mendominasi
keluarga.
Tentu tidak semua tetua di dalam keluarga-keluarga bangsa kita bersikap
otoriter. Banyak pula yang sikapnya sangat bijaksana dan menghargai pendapat
anggota keluarga lainnya dalam musyawarah keluarga. Tetua bijak seperti inilah
agaknya yang diidealkan oleh Bung Karno dan pendiri bangsa kita lainnya ketika
mereka bermusyawarah menetapkan Pancasila sebagai ideologi negara dan bangsa
kita.
- See more at:
http://harian-pelita.pelitaonline.com/cetak/2012/12/04/asas-kekeluargaan-dan-demokrasi#sthash.LGvjx3B8.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar